Halaman

Jumat, 18 Maret 2011

LASKAR PELANGI

BAB I
SEPULUH MURID BARU


PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas.
Sebatang pohon filicium tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku,
memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada
setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di
depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD.
Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu
miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu
berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah
seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah
dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti
ayahku, mereka berdua juga tersenyum.
Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak
jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali
menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian khawatir
sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik-titik
keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang
dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi
permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.
“Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu…,”
katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong.
Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan
karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu
ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung
yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi
seorang pria beruisa empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak
banyak dan bergaji kecil, utnuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah
menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai
untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak
berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara
gampang bagi keluarga kami.
“Kasihan ayahku ….”
Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.
“Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan
mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli ….”
Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orangtua di depanku
mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran
mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian
laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di sana. Para orangtua ini
sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai
paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini
mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa
karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru,
tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf.
Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali
seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari
pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak
mengenal anak beranak itu.
Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan
ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapasiapa.
Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari sebuah
komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga
sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua
mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak
menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya menyumbang sukarela
semampu mereka. Kedua, karena firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter
yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran
Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun.
Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke jalan raya di
seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada pendaftar baru. Kami prihatin
melihat harapan hampa itu. Maka tidk seperti suasana di SD lain yang penuh
kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD
Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak
Harfan.
Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas
Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah
hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di
Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab
sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya,
dan kami, sembilan anak-anak kecil ini—yang terperangkap di tengah—cemas kalaukalau
kami tak jadi sekolah.
Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini
Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah
mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada
kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk
memnuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.
“Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh
orangtua yang telah pasrah. Suasana hening.
Para orangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda
bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaiknya didaftarkan pada para juragan saja.
Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada
orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah
tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat
kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan
satu murid. Kami menunduk dalam-dalam.
Saat itu sudah pukkul sebelas kurang lima dan Bu Mus semakin gundah. Lima
tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun
pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu
ini.
“Baru sembilan orang Pamanda Guru …,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia
sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal yang sama yang telah
diketahui semua orang. Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya.
Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid
tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku
melepaskan lengan ayahku dari pundakku. Sahara menangis terisak-isak mendekap
ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu,
kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku, botol air minum, dan tas
punggung yang semuanya baru.
Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu.
Sebuah pemandangan yang pilu. Para orangtua menepuk-nepuk bahunya untuk
membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak
Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan
pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan
kata pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak
sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu.
“Harun!”
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan
terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang
putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika
berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah
baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka
sahabat kami semua, yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang
mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri
kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandengnya.
Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak Harfan.
“Bapak Guru …,” kata ibunya terengah-engah.
“Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau Bangka, dan kami tak
punya biaya untuk menyekolahkannya ke sana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia di
sekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar-ngejar anak-anak ayamku ….”
Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang.
Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya.
“Genap sepuluh orang …,” katanya.
Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak. Sahara berdiri tegak
merapikan lipatan jilbabnya dan menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk
lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya
yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras.
& #

-( -+
IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini
menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan
posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga
crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan
ceria beliau mengatur tempat duduk kami.
Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog
sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. Semua telah masuk ke dalam kelas, telah
mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil
kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau
hangus seperti karet terbakar.
“Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku.
Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang aneh.
Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas.
Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia memberontak, menepis pegangan
ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri.
Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang,
tak mau turun lagi. Ayahnya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja
meloncati nasib, merebut pendidikan.
Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara
angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah
seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut
wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti termasuk dalam
sebagian besar warga negara Indonesia yang menganggap bahwa pendidikan bukan hak
asasi.
Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita
pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir.
Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar
pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir
ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap,
bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.
Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu
terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini
beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak
akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal
yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika
panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu
merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi
ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus
karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda.
Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut.
Menuju ke sana harus melewati empat kawasan pohon nipah, temapt berawa-rawa yang
dianggap seram di kampung kami. Selain itu di sana juga tak jarang buaya sebesar
pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan
sebagai wilayah paling timur di Sumatra, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman
Pulau Belitong. Bagi Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah
metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah! Anak sekecil itu ….
Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti
pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di
tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak hentihenti
penuh minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong pelosok. Bola
matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu,
yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan,
mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil
ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang apa engkau berlari? Begitulah
makna tatapannya.
Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk ditanggung seorang
anak kecil dalam waktu demikian singkat. Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru
baru … semuanya bercampur aduk. Ditambah lagi satu perasaan ngilu karena sepasang
sepatu baru yang dibelikan ibuku. Sepatu ini selalu kusembunyikan ke belakang. Aku
selalu menekuk lututku karena warna sepatu itu hitam bergaris-garis putih maka ia
tampak seperti sepatu sepak bola, jelek sekali. Bahannya pun dari plastik yang keras.
Abang-abangku sakit perut menahan tawa melihat sepatu itu waktu kami sarapan pagi
tadi. Tapi pandangan ayahku menyuruh mereka bungkam, membuat perut mereka kaku.
Kakiku sakit dan hatiku malu dibuat sepatu ini.
Sementara itu, kepala Lintang terus berputar-putar seperti burung hantu. Baginya,
penggaris kayu satu meter, vas bunga tanah liat hasil prakarya anak kelas enam di atas
meja Bu Mus, papan tulis lusuh, dan kapur tumpul yang berserakan di atas lantai kelas
yang sebagian telah menjadi tanah, adalah benda-benda yang menakjubkan.
Kemudian kulihat lagi pria cemara angin itu. Melihat anaknya demikian bergairah
ia tersenyum getir. Aku mengerti bahwa pira yang tak tahu tanggal dan bulan
kelahirannya itu gamang membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out
saat kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik: biaya atau tuntutan nafkah. Bagi
beliau pendidikan adalah enigma, sebuah misteri. Dari empat garis generasi yang
diingatnya, baru Lintang yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa
antediluvium, suatu masa yang amat lampau ketika orang-orang Melayu masih berkelana
sebagai nomad. Mereka berpakaian kulit kayu dan menyembah bulan.
UMUMNYA Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami berdasarkan
kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami sama-sama berambut ikal. Trapani
duduk dengan Mahar karena mereka berdua paling tampan. Penampilan mereka seperti
para penaltun irama semenanjung idola orang Melayu pedalaman. Trapani tak tertarik
dengan kelas, ia mencuri-curi pandang ke jendela, melirik kepala ibunya yang muncul
sekali-sekali di antara kepala orangtua lainnya.
Tapi Borek (bacanya Bore’, “e”-nya itu seperti membaca elang, bukan seperti
menyebut “e” pada kata edan, dan “k”-nya itu bukan “k” penuh, Anda tentu paham
maksud saya) dan Kucai didudukkan berdua bukan karena mereka mirip tapi karena
sama-sama susah diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng muka
Kucai dengan penghapus papan tulis. Tingkah ini diikuti Sahara yang sengaja
menumpahkan air minum A Kiong sehingga anak Hokian itu menangis sejadi-jadinya
seperti orang ketakutan dipeluk setan. N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim
Ramdhani Fadillah, gadis kecil berkerudung itu, memang keras kepala luar biasa.
Kejadian itu menandai perseteruan mereka yang akan berlangsung akut bertahun-tahun.
Tangisan A Kiong nyaris merusak acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu.
Sebaliknya, bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun
mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah
pensil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah
keliru membeli pensil karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya.
Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Bukankah pensil semacam
itu dipakai para tukang jahit untuk menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk
membuat garis pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis.
Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua itu bergaris tiga. Bukankah
buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat kelas dua untuk pelajaran menulis
rangkai indah? Hal yang tak akan pernah kulupakan adalah bahwa pagi tiu aku
menyaksikan seorang anak pesisir melarat—teman sebangku—untuk pertama kalinya
memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiap apa pun
yang ditulisnya merupakan buah pikiran yang gilang gemilang, karena nanti ia—seorang
anak miskin pesisir—akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab
ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur
hidupku.
&


TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan
atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit
saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore
untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama
sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan
sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.
Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah
memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika
kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami
akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas
hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu
ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran
Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit.
Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi,
pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang pria
yang berpakaian seperti ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium
besar dengan slang yang menjalar ke sana kemari. Ia seperti akan berangkat ke bulan.
Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan
DDT. Ketika asap putih tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersoraksorak
kegirangan.
Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri.
Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang
bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat
lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis
itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna putih. Di tengahnya
tertulis:
SD MD
Sekolah Dasar Muhammadiyah
Lalu persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab gundul yang nanti
setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu
berbunyi amar makruf nahi mungkar artinya :menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang mungkar”. Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata
itu melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang begitu kami kenal
seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami.
Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu
yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip
gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan
tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan
rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?
Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti
umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan
tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan
helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah
poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan.
Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia
memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah
mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad
bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang
pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan
menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak
kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti
bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!
Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang
atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk
menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami. Lebih menarik
membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang rela menghabiskan hidupnya
bertahan di sekolah semacam ini. Orang-orang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak
K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari
Hamid binti K.A. Abdul Hamid.
Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal,
cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan
beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film
di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu
manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Jika kita bertanya tentang
jenggotnya yang awut-awtuan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera
menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah,
R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot. Cukup membaca pengantarnya saja
Anda akan merasa malu sudah bertanya.
K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam
garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat
bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan
tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif
syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan
rumahnya.
Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi
kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu.
Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang
yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif
ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah
dipakai sejak beliau berusia belasan.
Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama
kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung
terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiaramutiara
nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di
sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat singkat beliau telah
merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang
perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.
“Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang …,” demikian
ceritanya dengan wajah penuh penghayatan.
“Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka, hingga
mereka musnah dilamun ombak ….”
Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: jika tak
rajin sahalat maka pandai-pandailah berenang.
Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan besar zaman
Rasulullah di mana kekuatan dibentuk oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang
Badar! Tiga ratus tiga belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap
dan bersenjata lengkap.
“Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat-tempat
kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian Pak Harfan berteriak lantang sambil
menatap langit melalui jendela kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang
penduduk Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang Badar.
Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat duduk. Kami
ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan benang-benang halus dalam
kalbu kami. Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan
dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan
mendinginkan suasana yang berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami
seorang pria bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini bersusah
payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di Madinah, mendirikan sekolah
dari jerjak kayu bulat seperti kandang. Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian
muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban
habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah.
Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, bahkan mungkin di Sumatra
Selatan.
Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus
setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya
yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia
mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan
hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati
daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang
mengerti.
Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang
sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya
mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan
pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan
kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua
tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap
kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak
Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir
dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati
kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah
sekali.
Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui katakatanya
yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau
mengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan
petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan
memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan,
tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup
bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban
untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap
jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah
untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa
dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya
bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar
menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan
orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan karena
orangtuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku
merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada
keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu
kemewahan sekolah lain.
Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah diceritakannya kami
berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung meskipun beliau tak bertanya,
dan kami mengacung walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang
penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa hanya satu menit. Kami
mengikuti setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat
tak lepas-lepas darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah membuat
kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak Harfan di hari pertama kami
masuk SD Muhammadiyah langsung menancapkan tekad dalam hati kami untuk
membela sekolah yang hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi.
Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya tibalah
giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak. Ketika diminta ke depan
kelas ia senang bukan main. Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyanggoyangkan
tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang kosong—karena isinya
tadi ditumpahkan Sahara—dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.
“Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,” pinta Bu Mus lembut
pada anak Hokian itu.
A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali tersenyum.
Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin menyaksikan anaknya
beraksi. Namun, meskipun berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata
pun. Ia terus tersenyum dan hanya tersenyum saja.
“Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar.
Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia
berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca pikiran
ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan
nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian!” Bapak Tionghoa
berwajah ramah ini dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah
dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong.
Namun, sampai waktu akan berakhir A Kiong masih tetap saja tersenyum. Bu
Mus membujuknya lagi.
“Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, jika belum bersedia
maka harus kembali ke tempat duduk.”
A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak menjawab. Ia
tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran moral nomor dua: jangan
tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. Maka berakhirlah
perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu.
& 7
+*-
+*-

AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk
mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah
rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani
mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang
sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari
aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini.
N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami
memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian
Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid,
pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan
Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan
guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam
tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai
dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai
Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau
melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah,
menopang hidup dirinya dan adik-adinya.
BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan
jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan
kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan,
dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal
materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu
menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks
Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik
karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah
Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks
legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengalaman lainnya.
“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu
menasihati kami.
Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan
kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang
mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengungdengung
di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah
terlamabat shalat.
Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh
mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang
bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi
mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memerplihatkan sebuah gambar.
Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang
suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh
kekerasan dan kesedihan.
“inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, di sini beliau menjalani
hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu
orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.”
Beliau tak melanjutkan ceritanya.
Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi memprotes
keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun amat lebat, petir sambar
menyambar. Trapani dan Mahar memakai terindak, topi kerucut dari daun lais khas
tentara Vietkong, untuk melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, dan Sahara memakai
jas hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan tulisan “UPT Bel”
(Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan jatah PN Timah milik bapaknya. Kami
sisanya hampir basah kuyup. Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah
mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh.
Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang
sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka
yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar
sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumahrumahan
dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara
mengambil wudu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami
doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang-kadang membuatkan kami
air jeruk sambal.
Mereka adalah ksatria tampa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu
pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang
diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan
dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas
kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem.
& 8
$, $ 0 &
JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi. Ada
orang Kek, ada orang Hokian, ada orang Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya.
Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang, phok,
kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitf yang
sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama
sekali berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati ddan pekerja
keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun mereka senantiasa memelihara
adat istiadatnya, dan di Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh
datang ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar Cina.
Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri
tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan “DILARANG
MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas tembok ini tidak hanya
ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat
berduri seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Temok Besar Cina yang
melindungi berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong tembok
yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah
dominasi dan perbedaan status sosial.
Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri
asing yang jika berada di dalmanya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong.
Dan di dalam sana berdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah
milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di
Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau
kecil itu.
Suatu sore seorang gentleman keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling
kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia
mencibir.
“Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak pernah kulihat orangorang
muda demikian malas seperti di sini.”
Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruh-buruh tambang yang
bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah kami yang kaya material tambang!
LAKSANA the Tower of Babel—yakni Menara Babel, metafora tangga menuju
surga yang ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun
lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan Eufrat di tanah yang sekarang
disebut Irak—timah di Belitong adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang
menjalar sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat di punggung
tangan.
Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium,
hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri
ilmenit atau timah kosong. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai
kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari.
Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari riak-riak gelombang laut dan
membentuk semacam fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para
nakhoda.
Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke
pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah dialirkan-Nya ke sana
untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semenamena
pada rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji
bangsa Lemuria?
Kilau itu terus menyala sampai jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran
secara nonstop diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika disaksikan
dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti familia besar Ctenopore, yakni
ubur-ubur yang memancarkan cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri,
kecil, bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara Selat Gaspar
dan Karimata bak mutiara dalma tangkupan kerang.
Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti knautia yang dirubung
beragam jenis lebah madu. Timah selalu mengikat material ikutan, yakni harta karun tak
ternilai yang melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit, siderit,
hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan topas …. Semuanya berlapislapis,
meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah rumah-rumah panggung kami. Kekayaan ini
adalah … bahan dasar kaca berkualitas paling tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas,
… material terbaik untuk superkonduktor, timah kosong ilmenit yang digunakan
laboratorium roket NASA sebagai materi antipanas ekstrem, zirkonium sebagai bahan
dasar produk-produk tahan api, emas murni dan timah hitam yang amat mahal, bahkan
kami memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua ini sangat
kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang
hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung
padi.
Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel
yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yang termasyhur di seluruh
negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku
Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya
jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana
telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa
padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan
Belitong—sebuah pulau kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah.
PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang
dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan
menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut
kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui
pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN
mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek
isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut,
sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.
Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya
mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan
kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak
hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok
feodalistis ala Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun
yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong
juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah, persamaan
kesempatan, dan trickle down effects.